LITERATUR tentang fungsi media
senantiasa mengetengahkan bahwa fungsi media ialah informasi, hiburan,
dan pendidikan. Media cetak pada umumnya lebih memberikan penekanan pada
fungsi informasi dan hiburan, sedangkan televisi (TV) lebih cenderung
mengedepankan fungsi hiburan dan informasi, sementara itu, fungsi
pendidikan bagi TV cenderung diposisikan sebagai unsur pelengkap.
Mengapa demikian?
Apakah karena pengelola stasiun TV
tidak menyadari tanggung jawab sosial mereka kepada pemirsa? Ataukah
karena fungsi pendidikan dianggap merupakan tanggung jawab utama
keluarga dan sekolah? Padahal, kita tahu bahwa apa pun yang disiarkan
TV, sadar atau tidak, dimaksudkan atau tidak, akan senantiasa
menyosialisasikan nilai-nilai sosial-budaya tertentu dan berdampak pada
pemirsa.
Tidak jarang orang menuduh siaran TV
menjadi biang keladi perilaku sosial menyimpang yang terjadi di
masyarakat. Padahal, mungkin saja terjadi saat dilakukan survei
menyangkut pengaruh siaran TV pada pemirsa, ternyata tindakan yang
dilakukan responden, independen dari siaran TV. Artinya, responden tidak
menyaksikan siaran TV dan tindakannya dijalankan secara spontan tanpa
ada kaitannya dengan siaran TV.
Belum lagi kalau kita menelaah lebih
jauh penelitian tentang hubungan antara tayangan kekerasan di TV (TV
violence) dan perilaku kekerasan aktual di masyarakat, ternyata hasilnya
menunjukkan penyebab kekerasan di masyarakat ialah faktor struktural
(kesenjangan sosial-ekonomis, lingkungan, dan sebagainya). Tayangan
kekerasan di TV bukan sebagai penyebab terjadinya kekerasan di
masyarakat, melainkan sebagai faktor yang memperkuat atau mengukuhkan
nilai kekerasan yang sudah ada (Joseph Klapper, 1967). Di satu
sisi, saat TV menayangkan peristiwa kekerasan di masyarakat, niatnya
membuat masyarakat waspada terhadap kemungkinan tindakan kekerasan yang
ada di lingkungan sosial. Namun saat frekuensi penayangan tindakan
kekerasan menjadi berlebihan, niat mendidik masyarakat malah berbalik
membuat masyarakat menjadi takut dan waswas. Di lain pihak, penayangan
tindak kekerasan yang berlebihan akan menimbulkan pula dampak psikologis
dalam bentuk desensitizing process (proses kehilangan kepekaan
akibat tindakan yang sebenarnya luar biasa, malah dianggap normal karena
terlalu sering disaksikan).
Dalam kondisi di saat TV dihadapkan
pada dikotomi antara tayangan mendidik dan tidak mendidik, stasiun TV
akan cenderung berdalih dengan mengatakan apa pun program yang
ditayangkan senantiasa memiliki dampak yang diniatkan (intended consequences) dan dampak yang tidak direncanakan (unintended consequences).
Niat program TV senantiasa baik,
tetapi pemirsa akan menilai kualitas sebuah tayangan sesuai dengan
persepsi masingmasing yang memang pada dasarnya sudah berbeda. Sebagai
ilustrasi, saat stasiun TV mengampanyekan pemberantasan HIV/ AIDS dengan
sosialisasi penggunaan kondom (niat baik), pesan TV malah dituduh
mendorong praktik seks bebas melalui pemanfaatan kondom (dampak buruk).
Sikap proaktif
Dalam dilema semacam ini, tidak banyak pihak yang dapat melihat secara
propor sional sejauh mana sebenarnya
TV dapat berperan dalam proses pendidikan. Fungsi pendidikan dilekatkan
pada mass media (termasuk TV) karena posisi media sebagai lembaga
pendidikan informal. Dalam pendidikan formal, di rumah dan sekolah,
nilai-nilai pendidikan disampaikan melalui proses yang interaktif dan
dialogis.
Melalui lembaga pendidikan informal
yang dijalankan mass media, nilai-nilai pendidikan disisipkan melalui
tayangan yang disajikan dalam proses yang monologis. Masalah apakah
pemirsa mengerti pesanpesan pendidikan yang diselipkan melalui tayangan
TV ataupun apakah mereka memperoleh manfaat pembelajaran, akan
bergantung pada persepsi setiap pemirsa.
Setiap pembahasan mengenai mendidik
tidaknya tayangan TV pada pemirsa akan sangat bergantung pada sikap
proaktif pemirsa untuk memilih dan memilah, antara nilai positif mana
yang perlu diinternalisasi untuk kemudian diadopsi dan nilai negatif
mana yang perlu diabaikan.
Cara TV menjalankan fungsi pendidikan
tidak mungkin dilakukan dengan cara yang linear. Jika hal tersebut
dijalankan, mungkin akan membosankan. Nilai pendidikan disampaikan
melalui penampilan pesanpesan yang kontras bahkan kontroversial.Kebaikan
dikontraskan dengan kejahatan, kecerdasan akan dipertentangkan dengan
kebodohan, kepolosan dengan keculasan, bahkan kekerasan dengan kasih.
Masalah etika akan timbul, dan dengan sendirinya peran pendidikan akan
dipermasalahkan manakala penyampaian pesan dilakukan dengan cara yang
tidak proporsional. Atau manakala, nilai-nilai (values) yang
negatif memperoleh legitimasi dalam bentuk pembenaran. Tema bahwa
kebaikan mengalahkan kebatilan, kejujuran menundukkan kecurangan dan
seterusnya, tetap harus dipertahankan dan dijaga sebagai pesan moral.
Panggilan medium TV memang untuk
menghibur pemirsa karena jika tayangan tidak menghibur, tentu akan
kehilangan pemirsa. Jumlah pemirsa yang tecermin pada rating itulah yang
dijual pada agensi untuk menghadirkan iklan, yang pada gilirannya akan
memberikan keuntungan ekonomis agar stasiun TV tetap eksis. Logika
instrumental bisnis TV memang mencari untung, tetapi logika ideal
operasional TV ialah melayani pemirsa dengan tayangan yang menghibur dan
sejauh mungkin mendidik.
Jika di sana-sini masih terjadi
benturan antara fungsi hiburan dan pendidikan, patut dipahami bahwa
pengelola stasiun TV masih berusaha mencari `format yang pas’. Dalam
situasi ini, pemirsa juga diminta menyadari bahwa dalam menjalankan
fungsi pendidikan, mass media, termasuk TV, tidak mungkin mengganti
peran rumah tangga apalagi sekolah. Posisi mass media sekadar melengkapi
peran lembaga pendidikan yang sudah ada.
SUMBER :
http://widiyanto.com/hubungan-televisi-dan-pendidikan/